Dua puluh tahun umurku telah berlalu, aku hidup di dalam kegelapan yang teramat pekat, berjalan kesurupan yang membabi buta. Hidupku hanyalah untuk satu menit. Aku tidak pernah melihat masa depan, karena terlelap menikmati kegembiraan masa mudaku. Kukira, aku selalu hidup kekal seperti ini. Hidup sendiri, di tengah manusia yang telah kuanggap mati.
Dua puluh tahun telah berlalu. Aku tidak pernah merasakan dunia ini melainkan kehambaran. Hartaku banyak. Kawanku juga banyak. Apalagi yang masih kurang pada diriku? Namun, di dalam jiwaku ini kurasakan kelaparan, di dadaku kurasakan ada kesempitan. Apakah yang bisa mengenyangkan kelaparan jiwaku itu? Siapakah yang bisa melonggarkan kesempitan dadaku itu?
Musik. Sama sekali, ia tidak bisa mengenyangkan jiwaku. Berbagai hiburan. Sama sekali, itu tidak bisa melonggarkan kesempitan di dadaku.
Bahkan, yang terjadi kebalikannya. Jiwaku semakin lapar dan kesempitan dadaku semakin bertambah.
Aku pun berganti-ganti kawan. Aku pergi kesana kemari menyanyikan lagu-lagu manis untuk dunia. Aku sering bergadang juga berhura-hura. Aku sudah lelah, sementara kelaparan jiwaku terus bertambah. Demikian pula kesempitan. Kurasakan diriku ini seperti terpenjara di dunia. Dunia yang begitu luas kurasakan teramat sempit.
Jiwaku terus mengeluhkan kelaparan. Dadaku terus mengadukan kesempitannya. Kesempitan yang tidak bisa dilapangkan hiburan-hiburan yang ada di dunia. Aku sering berfikir dan selalu lama. Akhirnya. Jalan pemecahan yang kuharapkan muncul juga! Sekarang, aku akan segera merasakan ketenangan. Akan kuhilangkan kelaparan jiwaku. Aku akan melapangkan kesempitan dadaku.
Lihatlah? Pisau ini telah berada di tanganku. Berkilat tersenyum. Ia menyukai jalan keluar yang kuambil ini.
Semua orang sudah tidur, sementara seluruh keluargaku juga sudah terlelap. Tinggal beberapa saat lagi aku akan merasakan masa-masa ketenangan. Namun, sementara aku dalam detik-detik genting itu, dengan pisau yang telah berada di tangan kananku, yang merapat ke dekat jantungku yang telah mati sekonyong-konyong dari ujung kesunyian, sebuah suara terdengar mendayu-dayu berkata : “Allah Akbar, Allahu Akbar!”
Pisauku terjatuh. Hatiku yang telah mati tiba-tiba kembali bergerak. Tidakkah engkau merenungi makna sebelum ini?
Aku mulai mewujudkan kehendak jiwaku untuk menyambut seruan itu. Aku mengambil air wudhu’ dan mulai berwudhu’.
Kualirkan air di wajahku yang kalut. Segera kurasakan di sana ada ketenangan. Dari wajahku lalu terus meresap ke dalam jiwaku.
Aku keluar ke jalan raya berjalan menuju masjid. Dunia terlihat menyeramkan dengan kesunyiannya. Tak ada sebisingan tak ada keramaian.
Aku sudah masuk masjid ketika muazin mengucapkan, As-shalaatu khairun minan nauum (Shalat itu lebih baik dari pada tidur), sebagai panggilan untuk melaksanakan shalat subuh. Aku berbaris di dalam shaff bersama orang-orang.
Mereka adalah sekelompok manusia yang tak pernah kujumpai gayanya, sepanjang hidupku ini!
Tampak wajah-wajah putih memancarkan cahaya. Jiwa-jiwa yang damai.
Dari kelompok orang itu majulah seorang imam.
Dia berdiri berhadapan dengan jama’ah memerintahkan mereka meluruskan shaff.
Wajah lelaki itu membuat diriku berdiri terpana. Wajah putih dikelilingi janggut hitam yang tebal.
Janggut itu semakin memperindah wajahnya dan keindahan itu memperjelaskan ketampanannya. Wajahnya dan janggut itu laksana bulan purnama putih –indah dilihat—yang berada di tengah-tengah langit berwarna hitam pekat, yang justru menampakkan keindahan dan kebagusannya.
Keduanya seperti sebutir mutiara berkilauan memancarkan cahaya. Cahaya dari butir mutiara itu terlihat semakin gemerlap karena diletakkan di atas selembar sutra hitam.
Lelaki itu memulai shalatnya. Aku mengikuti shalat dibelakangnya. Jiwaku terasa damai. Dadaku terasa lega. Dia mulai membaca ayat demi ayat.
Aku diam membisu.
Pada detik-detik itu sebutir air mataku jatuh. Kurasakan asinnya, kurasakan sentuhannya yang menyengat. Tetesan itu diikuti dengan satu isakan. Lalu menetes lagi satu butir yang lain.
Menetes lagi sebutir, lalu air mataku pun mengalir deras. Aku mulai mengeluarkan tangisan tulus, yang menimbulkan gemuruh di dalam jiwaku seperti gemuruhnya periuk mendidih. Lelaki itu, seakan-akan sedang menghujani hatiku dengan kalam Illahi, air mata inilah yang menghidupkan hati nuraniku dari kematiannya. Bersama hujan deras ini suara guntur terdengar menggelegar. Guntur itu adalah guntur taubat. Suara isak dan tangisku karena takut kepada Rabbinnaas “Pencipta, Pengatur, Pendidik dan Pemelihara umat manusia.”
Dua puluh tahun telah berlalu. Aku tidak pernah merasakan dunia ini melainkan kehambaran. Hartaku banyak. Kawanku juga banyak. Apalagi yang masih kurang pada diriku? Namun, di dalam jiwaku ini kurasakan kelaparan, di dadaku kurasakan ada kesempitan. Apakah yang bisa mengenyangkan kelaparan jiwaku itu? Siapakah yang bisa melonggarkan kesempitan dadaku itu?
Musik. Sama sekali, ia tidak bisa mengenyangkan jiwaku. Berbagai hiburan. Sama sekali, itu tidak bisa melonggarkan kesempitan di dadaku.
Bahkan, yang terjadi kebalikannya. Jiwaku semakin lapar dan kesempitan dadaku semakin bertambah.
Aku pun berganti-ganti kawan. Aku pergi kesana kemari menyanyikan lagu-lagu manis untuk dunia. Aku sering bergadang juga berhura-hura. Aku sudah lelah, sementara kelaparan jiwaku terus bertambah. Demikian pula kesempitan. Kurasakan diriku ini seperti terpenjara di dunia. Dunia yang begitu luas kurasakan teramat sempit.
Jiwaku terus mengeluhkan kelaparan. Dadaku terus mengadukan kesempitannya. Kesempitan yang tidak bisa dilapangkan hiburan-hiburan yang ada di dunia. Aku sering berfikir dan selalu lama. Akhirnya. Jalan pemecahan yang kuharapkan muncul juga! Sekarang, aku akan segera merasakan ketenangan. Akan kuhilangkan kelaparan jiwaku. Aku akan melapangkan kesempitan dadaku.
Lihatlah? Pisau ini telah berada di tanganku. Berkilat tersenyum. Ia menyukai jalan keluar yang kuambil ini.
Semua orang sudah tidur, sementara seluruh keluargaku juga sudah terlelap. Tinggal beberapa saat lagi aku akan merasakan masa-masa ketenangan. Namun, sementara aku dalam detik-detik genting itu, dengan pisau yang telah berada di tangan kananku, yang merapat ke dekat jantungku yang telah mati sekonyong-konyong dari ujung kesunyian, sebuah suara terdengar mendayu-dayu berkata : “Allah Akbar, Allahu Akbar!”
Pisauku terjatuh. Hatiku yang telah mati tiba-tiba kembali bergerak. Tidakkah engkau merenungi makna sebelum ini?
Aku mulai mewujudkan kehendak jiwaku untuk menyambut seruan itu. Aku mengambil air wudhu’ dan mulai berwudhu’.
Kualirkan air di wajahku yang kalut. Segera kurasakan di sana ada ketenangan. Dari wajahku lalu terus meresap ke dalam jiwaku.
Aku keluar ke jalan raya berjalan menuju masjid. Dunia terlihat menyeramkan dengan kesunyiannya. Tak ada sebisingan tak ada keramaian.
Aku sudah masuk masjid ketika muazin mengucapkan, As-shalaatu khairun minan nauum (Shalat itu lebih baik dari pada tidur), sebagai panggilan untuk melaksanakan shalat subuh. Aku berbaris di dalam shaff bersama orang-orang.
Mereka adalah sekelompok manusia yang tak pernah kujumpai gayanya, sepanjang hidupku ini!
Tampak wajah-wajah putih memancarkan cahaya. Jiwa-jiwa yang damai.
Dari kelompok orang itu majulah seorang imam.
Dia berdiri berhadapan dengan jama’ah memerintahkan mereka meluruskan shaff.
Wajah lelaki itu membuat diriku berdiri terpana. Wajah putih dikelilingi janggut hitam yang tebal.
Janggut itu semakin memperindah wajahnya dan keindahan itu memperjelaskan ketampanannya. Wajahnya dan janggut itu laksana bulan purnama putih –indah dilihat—yang berada di tengah-tengah langit berwarna hitam pekat, yang justru menampakkan keindahan dan kebagusannya.
Keduanya seperti sebutir mutiara berkilauan memancarkan cahaya. Cahaya dari butir mutiara itu terlihat semakin gemerlap karena diletakkan di atas selembar sutra hitam.
Lelaki itu memulai shalatnya. Aku mengikuti shalat dibelakangnya. Jiwaku terasa damai. Dadaku terasa lega. Dia mulai membaca ayat demi ayat.
Aku diam membisu.
Pada detik-detik itu sebutir air mataku jatuh. Kurasakan asinnya, kurasakan sentuhannya yang menyengat. Tetesan itu diikuti dengan satu isakan. Lalu menetes lagi satu butir yang lain.
Menetes lagi sebutir, lalu air mataku pun mengalir deras. Aku mulai mengeluarkan tangisan tulus, yang menimbulkan gemuruh di dalam jiwaku seperti gemuruhnya periuk mendidih. Lelaki itu, seakan-akan sedang menghujani hatiku dengan kalam Illahi, air mata inilah yang menghidupkan hati nuraniku dari kematiannya. Bersama hujan deras ini suara guntur terdengar menggelegar. Guntur itu adalah guntur taubat. Suara isak dan tangisku karena takut kepada Rabbinnaas “Pencipta, Pengatur, Pendidik dan Pemelihara umat manusia.”
0 komentar:
Posting Komentar